Posts Subscribe to This BlogComments

Follow Us

Monday, January 7, 2013

Kado Terindah Untuk Dinda



Adinda Salwa Nahila, begitulah nama gadis itu. Gadis remaja berusia enambelas tahun. Meski usianya masih belia, namun pemikirannya sudah seperti orang dewasa. Kata-katanya santun, perangainya lembut, pun banyak disenangi teman-temannya karena ia gadis yang cukup cantik juga baik. Selain itu, ia anak yang berprestasi di sekolahnya, SMA Al-Hikmah.
Dinda, begitulah sapaan untuknya. Terlahir dari keluarga sederhana tak membuatnya bersedih apalagi sampai tidak bersemangat hidup. Ia senantiasa tersenyum dan bersyukur dengan keadaannya. Ayahnya hanya bekerja sebagai buruh, ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Ia anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya laki-laki, tengah duduk di bangku SMP.
Dinda memiliki dua sahabat yang setia menemaninya sejak kelas sepuluh hingga sekarang saat ia sudah duduk di bangku kelas sebelas IPA-satu. Mereka adalah Salwa dan Azizah. Meski kadang diperlakukan tidak adil oleh sahabatnya, Dinda tak pernah merasa kecil hati. Sahabatnya memang berasal dari keluarga berada, tidak seperti dirinya.
***************
Fajar telah menyingsing, mentari telah bersiap dengan kegagahannya menyinari bumi Pencipta. Dinda tengah bersiap menuntut ilmu untuk masa depannya. Meski dirasakan kepalanya sangat sakit, namun ia tak mau meninggalkan pelajaran untuk alasan yang tak kuat seperti itu. Usai mengikat tali sepatu, Dinda mengambil tas dan ia letakkan di keranjang sepedanya.
“Ummi, Abi, Dinda pamit ya…” ucapnya sambil mencium punggung tangan kedua orangtuanya.
“Hati-hati Dinda… jangan lupa berdoa sebelum melakukan sesuatu!” pesan abinya.
“Iya Bi, insyaallah Dinda akan baik-baik saja”
“Jangan sampai lupa makan bekalmu ya Nak!” umminya mengingatkan.
“Iya Mi, ya sudah Dinda berangkat ya Mi, Bi. Asalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam…”
Gadis berjilbab lebar itu mengayuh sepedanya menuju tempat dimana ia akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan menyambung silaturahmi kepada saudara-saudaranya sesama muslim. Empat puluh lima menit berlalu, Dinda sampai di sekolahnya, SMA Al-Hikmah. Ia selalu menyempatkan diri untuk mencium tangan penjaga sekolah mereka, kakek tua bernama Abdul Hanafi. Meski usianya sudah enam puluh lima tahun, namun beliau masih sanggup bekerja sebagai penjaga sekolah yang harus membersihkan kantor guru dan terkadang halaman sekolah juga membuka dan menutup gerbang sekolah adalah tugas beliau.

“Bagaimana kabar Kakek?” Tanya Dinda dengan ramah. Ia memarkir sepedanya tak jauh dari tempat jaga kakek Hanafi.
“Alchamdulillah baik, Kamu bagaimana Dinda?”
“Syukur, Alchamdulillah baik juga Kek. Dinda ke kelas dulu ya Kek,”
“Iya, hati-hati”
“Iya Kek, terimakasih”
Dinda melangkah perlahan menuju kelasnya yang terletak di ujung, dekat lapangan basket. Meski hari sudah siang, namun para siswa belum banyak yang datang. Setiap harinya, Ardhi dan Rendy lah yang pertama menjadi penghuni ruang kelas karena selain rumah mereka dekat, mereka juga tergolong anak yang disiplin.

“Assalamu’alaikum…” ucap Dinda.
“Wa’alaikumussalam…” balas keduanya sambil tersenyum menyambut kedatangan Dinda. Dinda memang ramah pada siapapun, tak terkecuali pada anak-anak yang badung sekalipun. Karena di mata Dinda, manusia adalah sama. Baik-buruknya hanyalah ditentukan oleh tingkat ketaqwaan mereka kepada Allah Yang MahaEsa. Namun jika orang itu bersalah, Dinda berani menasehatinya meskipun ia anak yang badung. Itulah yang membuatnya disegani.
“Kayfa chaalukum? ” Tanya Dinda pada keduanya.
“Bikhair, alchamdulillah ”
Mereka memang diajarkan sedikit-demi sedikit bahasa Arab sederhana agar bisa semakin mengerti dan memahami Al-Qur’an. Selain itu mereka juga dibekali keterampilan teknologi agar menjadi muslim yang tak hanya pandai berdakwah, tapi juga melek dunia. Maklum saja, mereka anak pedalaman yang jauh dari dunia luar.
“Setiap langkahmu adalah keindahan
Tutur santunmu bagaikan tasbih yang teruntai
Teduh wajahmu selalu basah karena air wudlu
Membuat hatiku tertaut pada namamu”
Suara itu bergema dari luar, lalu muncullah Syahrul, dengan tampangnya yang terlihat sumringah. Ia mendekat ke arah Dinda, sementara Rendy dan Ardhi menjauh.
“Gimana puisiku tadi?” tanyanya pada Dinda.
“Bagus. Penuh penghayatan”
“Syukran katsiran ”
“Afwan ”
“Aku bawa ini spesial untuk kamu” ungkap Syahrul lalu memberikan sekuntum bunga mawar merah cantik pada Dinda.
“Masyaallah… Jamiilatun jiddan hadzihi azhar . Syukran ya Kak!”
“Afwan, Dinda cantik”
Syahrul memang telah lama menyimpan perasaan suka pada Dinda. Namun ia tidak pernah mau mengungkapkan isi hatinya secara langsung karena ia tak ingin kecewa. Pun ia menyadari bahwa cintanya pasti bisa memiliki jika memang Dinda adalah jodohnya.
Lain Syahrul, lain pula dengan Dinda. Dinda merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Syahrul. Baginya, Syahrul adalah kakak yang baik, perhatian dan penyayang. Ia bahkan masih ingat saat Syahrul mau mengantarnya pulang meskipun hujan deras bercampur petir menunggu.
“Kakak…”
“Ya?”
“Kenapa Kakak baik banget sama Dinda?”
“Lho memangnya Aku salah baik sama Kamu?”
“Bukan begitu, sama sekali nggak salah. Tapi Dinda kagum aja sama Kakak. Kakak baik banget”
“Itu karena Kamu juga baik”
“Alchamdulillah, syukran Kak. Semoga Dinda bisa benar-benar bisa mengamalkannya”
Teeetttt…….teeetttt………teeeetttt…………….!!!!
Bel masuk sudah berbunyi, membuat Syahrul harus segera beranjak pergi dari kelas Dinda.
***************
“Din, Anti nanti mau ikut kita ke pantai nggak?” Tanya Salwa saat jam istirahat tiba.
“Maaf, sepertinya Dinda nggak bisa. Lagipula Dinda lelah pergi ke pantai naik sepeda. Kamu dengan Azizah saja ya?”
“Oh… ya sudah. Maaf ya, Ana nggak berani bawa dua orang”
“Nggak apa-apa, Salwa. Lagipula Dinda ada urusan sore ini”
“Tapi nanti kita bisa jalan-jalan lagi ‘kan? Anti dengan kak Syahrul”
“Insyaallah ya? Semoga kak Syahrul mau”
“Aamiin”
Dinda hanya tersenyum menanggapi tingkah sahabatnya. Hatinya bertanya, mungkinkah aku bisa bertemu dengan kalian lagi? ***

Sudah tiga hari Dinda tidak masuk sekolah. Hal itu membuat seisi sekolah bertanya. Teman-temannya merasakan rindu pada gadis itu, terlebih Azizah dan Salwa. Keduanya sudah mengunjungi rumah Dinda namun sepi, tak ada seseorang pun di sana. Ponselnya pun tidak diaktifkan. Keduanya bertanya pada bu Anita, wali kelas mereka. Namun tetap saja beliau tidak memberi keterangan apa-apa, bahkan beliau seolah menutupi apa yang sedang terjadi pada Dinda.
Sementara itu, di sebuah ruangan yang terisolasi, gadis cantik terbaring lemah. Jilbab panjangnya membalut tubuh yang kini meringkih. Ibu gadis itu menunggunya dengan sabar, sambil terus membacakan ayat suci Al-Qur’an dengan suara lemah, berharap anaknya akan membuka mata dan kembali melihat dunia.
“Sayang, bangun Nak…! Ummi kangen kamu. Bangun, Sayang…!” ucap sang ibu sambil membelai jilbab anak perempuannya.
“Bangun, Sayang…! Ingatlah teman-teman yang menyayangimu. Kamu kangen Salwa ‘kan? kamu kangen Azizah juga ‘kan? bangun, Dinda…!”
Tiba-tiba dokter memasuki ruangan itu.
“Bu, maaf Kami harus memeriksa keadaan Dinda”
“Baik, Dokter. Silahkan”
Bu Aisyah keluar ruangan dan membiarkan Dinda diperiksa. Ia melihat dari jendela ruangan.
Ya Allah… jangan Engkau ambil anakku lebih cepat. Berikan ia kesembuhan, berikan ia kesempatan untuk bisa menjadi wanita shalihah seperti keinginannya. Berikan ia kesempatan untuk melihat kembali indahnya duniamu. Rintih hati sang ibu. Ia menghapus airmata yang jatuh di pipinya. Perasaannya begitu sesak melihat buah hatinya tak kunjung membuka mata, meski telah sepuluh hari ia berada di tempat yang penuh bau obat itu.
****************
“Astaghfirullah…!!!” Abdurrachman Yusuf terbangun dari tidurnya, nafasnya terengah. Sudah kesekian kali ia bermimpi akan seorang gadis yang selalu memanggil namanya padahal gadis itu tak pernah membuka matanya selama dua pekan terakhir.
Ia tak mengerti akan mimpi itu. Ia bahkan sama sekali tak mengenal gadis yang hadir dalam mimpinya.
“Ya Allah… petunjuk apa ini?” tanyanya pada diri sendiri. Ia melirik jam weker miliknya, sudah pukul 03.00 WIB. Segera ia beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil air wudlu. Dihamparkannya sajadah menghadap qiblat. Ia penuhi haq Rabb atas dirinya.
Ya Allah, Yang Maha Mengetahui
Apakah yang harus diri ini lakukan dengan mimpi itu?
Apakah itu adalah do’a hamba selama ini?
Apakah ia adalah bidadari yang Engkau takdirkan untuk hambaMu yang hina ini?
Rabbi… berikan hamba petunjuk
Rabbanaa chablanaa min azwaajina wa dzurriyyatinaa
Yaa archamar raachimiin aamiin yaa rabbal’aalamiin ***
“Aku kangen Dinda. Dia ke mana ya? Sudah dua minggu nggak masuk tapi nggak ada kabar” ucap Azizah pada Salwa.
“Iya nih, Dinda kenapa ya? Dia tiba-tiba menghilang gitu aja. Aku curiga jangan-jangan ada yang disembunyikan dari kita”
“Maksudmu?”
“Kita harus cari tau apa yang terjadi sama Dinda”
“Gimana caranya?”
“Kita ke ruang guru sekarang!”
“Tapi…”
“Kita bisa tau apa yang sebenarnya terjadi”
“Baiklah”
Keduanya melangkah perlahan menuju ruang guru. Mereka melihat dari dekat jendela namun seperti maling yang sedang mengendap ke rumah sasarannya. Ada pemandangan baru di sana. Seorang pemuda tampan sedang melakukan interview untuk bisa bekerja sebagai guru di sekolah mereka. Azizah dan Salwa mendengar percakapan itu.
“Baiklah, berdasarkan keputusan kepala sekolah, Bapak bisa segera mengajar di sini sebagai guru kimia”
“Terimakasih Bu! Alchamdulillah Ya Allah…”
“Pak Yusuf bisa mengajar mulai besok”
“Iya Bu, terimakasih. Saya pamit Bu”
“Silahkan”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
Abdurrachaman Yusuf beranjak dari tempat duduknya. Ya, ia adalah Yusuf, ia memutuskan untuk melamar pekerjaan sebagai guru kimia di SMA Al-Hikmah. Namun ia terkejut ketika melihat kalender yang terpajang di dinding menuju pintu keluar. Di sana ada foto gadis yang hadir dalam mimpinya dengan beberapa orang temannya yang membawa piala besar.
“Ba..bagaimana mungkin ini terjadi?” ucap Yusuf dengan suara terbata.
“Ada apa Pak Yusuf?” Tanya Bu Melani yang sebelumnya menginterview Yusuf.
“Siapa gadis ini Bu?” Yusuf menunjuk foto Dinda pada kalender itu.
“Dinda, dia siswi terbaik di sekolah kami”
“Subchanallah. Lalu sekarang dia di mana Bu?”
Azizah dan Salwa makin mempertajam pendengaran mereka, berharap aka nada titik terang untuk rasa penasaran mereka terhadap Dinda.
“Sudah dua pekan dia tidak masuk sekolah. Dia sedang kritis”
“Kritis?”
“Dia lemah jantung. Sudah lama dia menderita sakit itu, sejak umurnya dua belas tahun. Namun sekarang kondisinya semakin parah” tutur Bu Melani sedih.
“Astaghfirullah…” ucap Yusuf. Ia begitu sedih mendengar hal itu. Gadis yang hadir dalam mimpinya ternyata sedang kritis. Ia kini mengerti apa maksud mimpinya.
“Aku nggak percaya!” teriak Salwa yang membuat bu Melani dan Yusuf keluar ruangan.
“Salwa, Azizah! Kalian sedang apa?” Tanya bu Melani dengan nada gusar.
“Kami hanya ingin tau mengenai Dinda Bu, apa Kami tidak boleh tau keadaan sahabat Kami?”
“Maaf, Dinda yang meminta untuk merahasiakan ini”
“Sekarang Dinda di mana Bu?”
“Di Rumah Sakit Husada. Tapi belum bisa dijenguk, karena dia masih diisolasi”
Salwa menangis, Azizah pun demikian. Mereka tak menyangka jika sahabat mereka yang selalu terlihat ceria itu memiliki penyakit yang bisa saja merenggut nyawanya sewaktu-waktu.
Pikiran Yusuf kalut. Ada yang harus ia lakukan dengan segera, jika tidak maka ia akan menyesal. Tanpa pikir panjang, Yusuf segera pamit untuk pulang. Namun sampai di perempatan jalan, ia justru mengambil arah kanan melewati jalan Melati untuk menuju Rumah Sakit.
Sesampainya ia di halaman Rumah Sakit, Yusuf segera memarkir motornya dan masuk menyusuri bangsal Rumah Sakit menuju sebuah ruangan yang berada di ujung, tempat Dinda diisolasi. Ia melihat dari luar jendela, gadis itu terbaring lemah, keadaannya sama seperti dalam mimpinya.
“Ya Allah… bilakah memang ia jawaban atas do’aku selama ini, aku akan ikhlas menerimanya” ucap Yusuf pelan. Ia lantas masuk ke ruangan itu karena tidak ada seorang pun di sana. Bu Aisyah sedang meninggalkan Dinda untuk shalat dlucha.
Yusuf memandangi wajah gadis yang hadir dalam mimpinya. Wajahnya cantik, namun terlalu pucat. Matanya terpejam dan tubuhnya terlihat sangat kurus.
“Dinda, ini aku Yusuf. Aku datang untuk menjawab panggilanmu dalam mimpi itu. Aku… mencintaimu. Aku mohon Kamu buka matamu ya…!”
Hatinya bergetar ketika mengucapkan kalimat itu karena selama ini ia tak pernah berucap kata-kata demikian pada seorang perempuan. Namun tidak ada yang terjadi. Dinda tetap terpejam. Yusuf kembali berkata lembut.
“Aku yakin Kamu adalah jawaban atas do’aku selama ini. Aku yakin Kamulah bidadari itu. Kita akan menikah, bangun, Dinda…! Aku ingin menikahimu, sesuai syariat dien kita. Aku ingin Kamu sembuh”
Perlahan, mata Dinda yang selama dua pekan selalu tertutup kini terbuka. Ia telah sadarkan diri. Namun Dinda bingung mengapa lelaki yang hadir dalam mimpi panjangnya itu kini sedang berada di sampingnya.
“Kamu siapa?” tanyanya lemah, hampir tak terdengar.
“Aku Abdurrachman Yusuf. Ingat?”
“Yusuf? Kamu adalah lelaki itu?”
“Iya, Aku ke sini untuk menemuimu”
Dinda terdiam dan memalingkan wajahnya dari arah Yusuf.
“Ada apa?”
“Aku mohon Kakak keluar dari ruangan ini”
“Kenapa?”
“Aku ingin bicara dengan Ummi. Tolong panggilkan beliau!”
“Baiklah. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam. Syukran Kak!”
Yusuf akhirnya keluar ruang isolasi Dinda dan menuju mushola. Ia ingin menumpahkan perasaannya pada Sang Khaliq, bukan untuk menemui ibu Aisyah karena memang ia tidak mengenal wajah bu Aisyah.
****************
“Ummi, Abi, Dinda ingin menikah” Dinda mengatakan keinginannya pada orangtuanya
“Sayang, Kamu masih sakit. Pikirkan dulu kesembuhanmu” ucap sang ibu.
“Dinda ingin menikah, Ummi” Dinda mempertegas ucapannya.
“Apa yang membuatmu berpikir begitu Nak?” Tanya abinya.
“Dinda hanya ingin menjadi muslimah yang baik sebelum bertemu Allah, Abi”
“Kamu jangan berkata seperti itu, Sayang…! Yakinlah Kamu akan sembuh” umminya mulai terisak.
“Dua pekan lagi umur Dinda tujuh belas tahun, Dinda mau hadiah terindah untuk hari itu. Dinda ingin menikah Ummi, Abi”
“Dinda, itu tidak mungkin. Bagaimana Abi mencari calon suami untukmu dalam waktu singkat?”
“Abi, semuanya mungkin. Dinda telah bertemu dengan calon suami Dinda. Ia pasti akan datang kemari”
Seolah telah mendengar percakapan keluarga itu, tak lama kemudian Yusuf datang. Dengan mengucap salam, ia mendekati mereka.
“Kamu siapa?” Tanya pak Usman, ayah Dinda.
“Saya Yusuf Pak,”
“Abi, ini calon suami Dinda”
Pak Usman memandang ke arah Yusuf, namun laki-laki itu tertunduk.
“Apa yang Kamu inginkan dari putri Saya?” tanyanya.
“Saya ingin menikahi Dinda” jawab Yusuf dengan mantap.
“Apa Kamu mengenalnya?”
“Saya hanya mendapat ilham lewat mimpi. Insyaallah, Dinda adalah jawaban atas do’a Saya”
“Baiklah, Saya akan menikahkan Kamu dengan putri Saya sepuluh hari lagi”
“Sepuluh hari?” Yusuf terkejut atas pernyataan itu.
“Ya. Keberatan?”
“Tidak Pak”
“Baik, Kamu persiapkan segala sesuatunya. Jangan lupa kabari orangtuamu”
“Baik Pak, Insyaallah” ***
Berita tentang pernikahan Yusuf dan Dinda diketahui oleh penghuni SMA Al-Hikmah. Mereka takjub sekaligus bahagia, tak menyangka jika Dinda rela mengorbankan sekolahnya untuk menikah dengan Yusuf, lelaki yang tak dikenalnya. Meski kondisinya masih lemah, namun Dinda sudah diperbolehkan pulang. Ia kini berada di rumahnya.
Yusuf benar-benar tak menyangka ia bisa mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahannya dalam sepuluh hari. Seperti orang yang akan menikah pada umumnya, ia merasa jantungnya berdebar kencang. Bahkan ia tak mampu memandang wajah Dinda yang terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya putih dan jilbab panjangnya. Beberapa kali ia salah mengucapkan kata-kata untuk ijab qabul. Namun, saat yang ketiga, ia mengucap basmalah berulang-ulang sehingga ia bisa dengan lancar mengucap aqad nikah.

“Bagaimana saksi?”
“Syah…”
“Alchamdulillah…”
Usai do’a bersama, Yusuf mencium kening istrinya dengan lembut sembari berdo’a untuk meminta keberkahan atas pernikahan mereka. Dinda merasa sangat bahagia atas perlakuan Yusuf. Ia kini telah menjadi seorang istri dan itulah hadiah terindah untuk ulang tahunnya dua hari mendatang. Dua hari mendatang usianya genap tujuhbelas tahun dan ia telah menggenapkan separuh dien di usia yang masih belia. Subchanallah…sungguh anugerah yang tak terhingga. Hatinya senantiasa bersyukur.
Keduanya lalu sungkem kepada orangtua masing-masing sebagai bentuk hormat dan tanda pelepasan orangtua untuk anak mereka menempuh hidup yang baru.
“Jadilah istri yang baik, Sayang” pesan bu Aisyah pada anaknya.
“Insyaallah, Ummi”

Dinda dan Yusuf duduk bersanding di pelaminan. Tak banyak yang mereka undang. Hanya kerabat dekat dan para guru di SMA Al-Hikmah. Jamuan makan pun secara sederhana, ikhwan dan akhwat dipisah dengan hijab, sesuai syara’. Dinda melihat Salwa dan Azizah hadir di pernikahannya dengan Yusuf. Ia meminta izin pada suaminya untuk menemui mereka, Yusuf pun mengizinkan.
“Salwa, Azizah…”
“Dinda…”
Mereka saling berpelukan.
“Syukran ya kalian mau datang!”
“Afwan, Dinda. Barakallaahu lakum wa baraka alaikum wa jama’a bainakum fii khair” ucap Azizah.
“Aamiin. Kalian datang dengan siapa?”
“Hanya berdua” jawab Salwa lugas.
“Kak Syahrul… apa dia ada di sini?”
“Dia tidak ikut. Dia hanya bisa mendo’akan kalian”
Dinda terlihat sedikit kecewa mendengar penuturan Salwa. Ia ingin Syahrul merasakan kebahagiannya hari itu.
“Baiklah Dinda, Kami harus pulang. Salam untuk Pak Yusuf, suamimu” ucap Azizah.
“Iya, sekali lagi syukran ya…”
“Jaga kesehatanmu, Dinda!” pesan Salwa. Dinda mengangguk, mereka kembali berpelukan hangat.***

“Sayang, Aku mencintaimu. Aku bahagia sekali menjadi suamimu” ucap Yusuf sehari setelah pernikahan mereka. Dinda saat itu tengah memasak.
“Alchamdulillah, Dinda juga bahagia menjadi istrimu, Habibi”
“Syukran ya, Sayang”
Yusuf memeluk Dinda dari belakang, menemani sang istri menyiapkan makanan untuk makan malam mereka.

Hati ini selalu memanggil namamu/Dengarlah kekasihku
Ku berjanji hanyalah untukmu cintaku/Tak ‘kan pernah ada yang lain
Yusuf menyenandungkan lagu Karena Ku Sayang Kamu milik Dygta untuk mengungkapkan perasaannya pada Dinda saat itu. Dinda sangat bahagia mendengar suaminya menyenandungkan itu untuknya.
“Syukran ya, Suamiku” ucapnya.
****************
Pagi itu, dua hari setelah pernikahan mereka, Dinda merasakan tubuhnya begitu lemah. Ia merasa tak akan lama lagi akan meninggalkan suami tercintanya. Maka, sebelum Yusuf pergi mengajar, ia berpesan.
“Suamiku, nanti akan banyak orang di rumah kita. Tolong jangan tampakkan kesedihan di hadapan mereka ya…!”
Yusuf menganggap perkataan Dinda adalah wajar, ia tak berfirasat apapun.
“Iya, Sayangku…” ucapnya tersenyum.
Dinda mencium punggung tangan suaminya dan berpesan, “Hati-hati ya Suamiku,”
“Iya, Istriku sayang. Syukran ya…”
Yusuf menyalakan motornya setelah ia mencium kening istrinya.***

Pukul sepuluh, Yusuf telah selesai mengajar karena hari itu adalah hari jumat. Ia bersiap pulang ke rumah untuk kembali bertemu dengan Dinda, istri tercintanya.
“Pak Yusuf sudah selesai mengajar?” Tanya bu Liana, guru bahasa Inggris yang masih sendiri meski usianya sudah dua puluh tujuh tahun.
“Iya Bu, Alchamdulillah. Saya pamit Bu, takut terlambat shalat jumat nantinya”
“Iya Pak, hati-hati. Salam untuk Dinda ya…”
“Iya Bu, syukran. Insyaallah akan Saya sampaikan pada istri Saya”

Yusuf mengendarai motornya dengan cepat. Entah mengapa ia ingin sekali sampai di rumah dan bertemu Dinda. Rasa rindu itu membuatnya ingin segera menemui istri tercintanya. Namun sesampainya di rumah, ia heran melihat bendera kuning terpajang di halaman rumah. Segera saja ia berlari menuju rumahnya.
“Ada apa ini?” tanyanya pada orang-orang yang hadir di rumahnya.
“Yusuf, Kamu harus tabah” ucap pak Usman yang telah menjadi mertua Yusuf.
Yusuf tak melihat senyum istrinya yang menyambut kedatangannya, melainkan tangis duka yang mengiringi kepergian istrinya. Yusuf membuka kain yang menutupi wajah istrinya. Dinda terlihat cantik dengan wajahnya yang tersenyum meski kulitnya pucat dan dingin.
“Apa yang terjadi, Sayang? Mengapa Kamu tega meninggalkan Aku? Bangun, Sayang…” Yusuf mulai terisak. Ia mencium wajah istrinya dan menggenggam tangan Dinda, berharap istrinya akan terbangun kembali.
“Yusuf, sudahlah Nak! Dinda sudah pergi, Kamu harus ikhlas. Biarkan dia tenang dan jangan biarkan perjalanannya gelap” hibur bu Aisyah.
Sejenak Yusuf menghentikan tangisnya. Ia mencoba menguatkan hati agar ikhlas merelakan kepergian istrinya untuk selamanya.
“Ya Allah, kutitipkan cintaKu pada-Mu. Jagalah ia di sisiMu, berikan kebahagiaan untuk dia, bidadariku. Ampunilah segala dosanya selama di dunia. Maafkan hambaMu yang belum bisa memberinya kebahagiaan” lirih Yusuf.
Hari itu rintik hujan mengiringi kepergian Dinda untuk selamanya. Semua yang menyayangi Dinda memberinya kado terindah di hari ulang tahunnya. Genap usia tujuh belas tahun Dinda pergi untuk menghadap rahmat Allah, meninggalkan sejuta kenangan di hati orang yang mencintainya.

********SELESAI********

Cerpen Karangan: Myta Yulia Hikmawati

Mungkin Ini Juga Yang Anda Cari :
pasang iklan pasang iklan pasang iklan pasang iklan pasang iklan

.:: Related Post ::.



0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar disini. komentar anda sangat membantu demi kemajuan blog ini. dan terima kasih atas komentar-komentar yang sudah masuk.

Perhatian !!!

Dimohon Untuk Semua Yang Mau Copy dari Blog ini, sertakan alamat blog ini . http://separuhtulisanku.blogspot.com/ dalam referensi anda. Terima Kasih Atas Kunjungan Anda.

Tukar Link

Untuk Tukar Link Add Link Blog Snapper White ke Blog Anda. Setelah itu konfirmasi melalui Buku Tamu
Cari Saya Juga Di Facebook [Klik disini]

Followers

.:: Advertising ::.

pasang iklan pasang iklan
pasang iklan pasang iklan